Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Akademisi Unmul: Perhitungan Data Kemiskinan BPS Pakai Metodologi Usang

Akademisi Unmul soroti penggunaan metodologi perhitungan data kemiskinan BPS yang dinilai usang dan tidak lagi relevan.
Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasani memberikan paparan saat rilis berita resmi statistik di Jakarta, Selasa (15/10/2024). Bisnis/Himawan L Nugraha
Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasani memberikan paparan saat rilis berita resmi statistik di Jakarta, Selasa (15/10/2024). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, BALIKPAPAN – Akurasi data kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menuai sorotan tajam dari kalangan akademisi di Universitas Mulawarman. 

Pengamat Ekonomi Purwadi menyatakan data BPS memang sering menjadi acuan utama pemerintah, namun validitasnya perlu ditelaah ulang. 

"Lebih dari satu dekade, BPS tak kunjung memperbarui cara menghitung kemiskinan, sementara negara seperti Malaysia rutin mengevaluasi standarnya setiap 5-10 tahun," ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (14/5/2025). 

Kondisi ini, kata dia, berpotensi mengaburkan arah kebijakan pengentasan kemiskinan, terlebih di tengah geliat pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur yang notabene memiliki biaya hidup lebih tinggi.

Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar, mengingat perbandingan data dengan lembaga global seperti Bank Dunia menunjukkan disparitas yang signifikan, sehingga bisa membingungkan para pembuat kebijakan di tingkat pusat maupun daerah.

Pria yang juga menjabat sebagai Kepala Unit Layanan Strategis Pasdaloka Universitas Mulawarman ini, menyebutkan disparitas angka kemiskinan antara BPS dan Bank Dunia bagai bumi dan langit, yang dipicu perbedaan fundamental metodologi. 

Sebagaimana diketahui, Bank Dunia menggunakan standar global berbasis Purchasing Power Parity (PPP) senilai US$6,85 per hari (2024), yang mencoba menyetarakan daya beli antarnegara. 

Di sisi lain, BPS menetapkan garis kemiskinan nasional Rp595.242 tiap bulan per orang (September 2024), di mana 74,5% dialokasikan untuk makanan dan sisanya untuk kebutuhan lain. 

Purwadi menegaskan metodologi BPS terjebak dalam pendekatan Cost of Basic Needs (CBN) yang hanya menyesuaikan batas kemiskinan berdasarkan inflasi tanpa memperbarui keranjang kebutuhan pokok yang dihitung. 

Padahal, harga kebutuhan dasar seperti beras dan bensin telah melonjak drastis selama bertahun-tahun, sementara gaya hidup masyarakat juga berubah.

"Akibatnya, batas miskin Rp595.242 per bulan jika dianalogikan kurang dari harga 2 liter pertalite per hari mungkin tak lagi cukup untuk hidup, apalagi di kota besar seperti Samarinda atau Balikpapan," tegasnya.

Dia menambahkan, rendahnya standar BPS makin kentara jika dicermati lebih dalam. 

Batas kemiskinan harian BPS, sekitar Rp19.841 atau setara $2 PPP (2024), ternyata nyaris sama dengan standar Timor-Leste, negara dengan ekonomi jauh lebih kecil (GDP per kapita Indonesia 2,5 kali lebih besar dari Timor-Leste berdasarkan data Bank Dunia 2024). 

Lebih lanjut, Purwadi memaparkan angka tersebut hampir setara biaya pakan dasar bagi ternak di Eropa (€1-2 per hari). 

"Ini menunjukkan betapa rendahnya batas kemiskinan BPS, yang gagal mencerminkan kebutuhan hidup layak di Indonesia modern," terang Purwadi.

Senada, akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman Ellen D. Oktanti Irianto menekankan dampak serius dari metodologi ini. 

"Metode BPS yang ketinggalan zaman bukan cuma soal angka, tapi soal hidup orang banyak. Kebijakan berdasarkan data usang bisa salah sasaran," tegasnya.

Menurutnya, program krusial seperti Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) dan Program Keluarga Harapan (PKH) sangat bergantung pada data BPS.

Akibatnya, banyak keluarga kelas menengah dan tidak masuk kategori miskin versi BPS, terpaksa terabaikan dari jaring pengaman sosial, sementara mereka sangat membutuhkan uluran tangan.

Di sisi lain, dia mengungkapkan Kaltim menghadapi tantangan unik berupa melonjaknya biaya hidup di perkotaan seperti Samarinda atau Balikpapan, yang jauh melampaui rata-rata nasional. 

Namun, garis kemiskinan BPS yang seragam di tingkat nasional ini justru gagal menangkap realitas ekonomi lokal yang kian mahal. 

Tak pelak, upaya pengentasan kemiskinan di Kaltim berisiko melenceng dari target dan tidak menjangkau mereka yang paling membutuhkan di tengah lonjakan harga.

"Saatnya BPS keluar dari zona nyaman, memperbaharui indikator dan bantu Indonesia melangkah ke masa depan yang lebih adil. Kalau tidak, data kemiskinan hanya akan jadi ilusi, bukan cermin realitas," pungkasnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper