Bisnis.com, BALIKPAPAN – Data yang dilansir Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, Penelitian dan Pengembangan kota Balikpapan menyebutkan bahwa masih ada kawasan kumuh seluas 4,75 hektare, dari total 58,58 hektare kawasan kumuh hingga akhir tahun ini.
Kepala Dinas Perumahan dan Pemukiman Balikpapan, Ketut Astana menjelaskan bahwa sepanjang Januari-November tahun ini, Balikpapan bisa mengentaskan 53,25 hektare kawasan kumuh. Menurutnya, luas kawasan yang ditangani cenderung mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Membandingkan dengan tahun lalu ada seluas 166,28 hektare kawasan kumuh yang dientaskan.
“Kawasan kumuh yang ditangani berada di 12 Kelurahan. Yaitu Kelurahan Muara Rapak, Baru Ulu, Baru Tengah, Margo Mulyo, Sepinggan, Sepinggan Raya, Karang Jati, Klandasan, Damai, Telagasari, Manggar dan Manggar Baru,” jelasnya Selasa (3/12/2019).
Sejauh ini penanganan permukiman kumuh dilakukan secara bertahap melalui anggaran pemerintah pusat, pemerintah daerah dan CSR (Corporate Social Responsibility – dana tanggung jawab sosial perusahaan.
Kepala Bidang Permukiman, Eri Santoso memerinci pada 2017 misalnya, penanganan kawasan kumuh memperoleh bantuan APBN dalam Program KOTAKU senilai Rp850 juta.
Dana yang digelontorkan itu untuk menangani Kelurahan Rapak dan Margasari dengan membangun infrastrukur seperti jalan lingkungan, drainase dan pembangunan tempat pengelolaan sampah terpadu.
Selanjutnya pada 2018, anggaran penanganan kawasan kumuh naik menjadi Rp16,5 miliar untuk menangani 10 kelurahan.
Mayoritas digunakan untuk menangani drainase, jalan pemadam kebakaran, penyediaan air bersih, penghijauan termasuk mempercantik tampilan dari sebuah kota serta pembangunan sanitasi.
Selain itu pihaknya juga mendapat suntikan dana dari Bank Dunia sebesar Rp24 miliar khusus untuk pembangunan jalan, dermaga dan ruang terbuka hijau di Kelurahan Manggar Baru. Proyek itu dikerjakan oleh Balai Prasarana Permukiman.
Sedangkan pemerintah daerah melalui APBD tahun ini menggelontorkan Rp2,8 miliar bagi lima kelurahan.
Disperkim menargetkan program tersebut dilanjutkan dengan pencegahan setelah kawasan kumuh tertangani. Pencegahan dilakukan melalui sosialisasi dan pembuatan infrastruktur seperti jalan dan saluran air.
Sebagai tambahan informasi, kawasan disebut tak kumuh apabila berhasil memenuhi tujuh kriteria berikut; proteksi kebakaran, drainase, pengelolaan persampahan, sanitasi, air bersih, keteraturan bangunan dan ketersediaan jalan lingkungan.
Ditjen Cipta Karya Kementrian Pekerjaan Umum mengklasifikasikan permukiman kumuh (slum) pada tiga segi. Yaitu, kondisi fisik yang tampak dari kondisi bangunan sangat rapat dengan kualitas konstruksi rendah, jaringan jalan tidak berpola dan tidak diperkeras, sanitasi umum dan drainase tidak berfungsi serta sampah belum dikelola dengan baik.
Kedua, kondisi sosial ekonomi budaya komunitas berpendapatan rendah, norma sosial yang longgar, budaya kemiskinan yang mewarnai kehidupannya yang antara lain tampak dari sikap dan perilaku yang apatis. Dan terakhir dampak kedua kondisi tersebut yang mengakibatkan kondisi kesehatan buruk, sumber pencemaran, penyebaran penyakit dan perilaku menyimpang.