Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kemiskinan Masyarakat Sepaku di Tengah Gemerlap Proyek IKN

Diah (38) warga Desa Sukaraja, terlihat asyik menggergaji kayu untuk memperbaiki perabotan. Kegiatan tersebut dia lakukan di tengah rutinitas menjaga anak.
Rumah sederhana Diah, seorang istri nelayan yang tinggal di pinggir Sungai Sepaku, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara./Ist
Rumah sederhana Diah, seorang istri nelayan yang tinggal di pinggir Sungai Sepaku, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara./Ist

Bisnis.com, BALIKPAPAN — Diah (38) warga Desa Sukaraja, terlihat asyik menggergaji kayu untuk memperbaiki salah satu perabotan di rumahnya. Kegiatan tersebut dia lakukan di tengah rutinitas menjaga anak. 

Diah tinggal bersama seorang anak dan suaminya di sebuah rumah kayu sederhana berwarna abu-abu. Rumahnya tepat berada di samping Sungai Sepaku.

Dia menuturkan suaminya saat ini bekerja menjadi buruh harian di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Hutan Tanaman Industri (HTI) dan beroperasi di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU). 

Pekerjaan itu, kata Diah, bukanlah menjadi pilihan utama. Namun opsi terakhir yang bisa diambil ayah dari anak-anaknya. Karena menjadi nelayan sudah tidak dapat mencukupi kehidupan sehari-hari.

“Kalau mengandalkan dari sungai aja, mana cukup buat makan apalagi yang lain,” ujarnya kepada Bisnis baru-baru ini.

Diketahui, suami Diah sama seperti masyarakat lainnya di Sepaku. Mengais rezeki dengan menjual hasil tangkapannya ke pasar lokal berupa udang galah dan ikan. 

Setali tiga uang disampaikan nelayan asal Kelurahan Sepaku lainnya, Arman Jais. Menurutnya, sejak pembangunan sejumlah proyek infrastruktur dimulai, khususnya intake Sepaku, dia merasakan mulai terjadi perubahan kualitas air sungai dan hasil tangkapan nelayan.

Arman mengaku kesulitan untuk memenuhi kebutuhan keluarga jika hanya mengandalkan hasil tangkapan sebagai nelayan. Biasanya dalam seminggu nelayan bisa mendapatkan hasil tangkapan, seperti ikan patin, kepiting dan udang minimal 30 kilogram dan dijual sebesar Rp75.000 per kilogram. 

Bila dikalkulasikan dalam seminggu nelayan bisa memperoleh penghasilan rata-rata Rp2,25 juta atau sekitar Rp9 juta dalam sebulan. 

“Saat ini saya libur, karena nggak ada ikan akibat masalah lumpur dekat intake. Tangkapan kami tergantung pada permintaan, jika diminta untuk mengumpulkan udang, maka kami mengumpulkan udang dan saat ini ada permintaan khusus untuk ikan patin, terutama yang besar dan masih hidup,” katanya. 

1698640048_e3fab937-573f-46e4-ad45-668e39c57cdd.
1698640048_e3fab937-573f-46e4-ad45-668e39c57cdd.
Kapal nelayan yang disandarkan di pinggir Sungai Sepaku./Istimewa  

Tak jauh berbeda disampaikan Tamrin (47), Pengamat pos hidrologi Sungai Sepaku Badan Wilayah Sungai Kalimantan IV, yang bertugas melakukan pengecekan terhadap ketinggian air di Sungai Sepaku. 

Dia mengatakan, setiap harinya biasanya Sungai Sepaku selalu diramaikan dengan aktivitas tangkap ikan dan udang galah, yang dilakukan nelayan ataupun masyarakat biasa yang sekadar melepaskan penat dengan memancing. Namun belakangan, aktivitas tersebut sudah jarang didapati, pasalnya hasil tangkapan sudah tidak sebanyak dulu lagi. 

Padahal, hasil tangkapan dari sungai Sepaku jumlahnya cukup banyak sebelumnya. Selain menjual di pasar lokal, nelayan pencari udang galah di Sungai Sepaku juga menjual hasil tangkapannya hingga ke Samarinda. 

Hasil tangkapan yang tidak pasti membuat pendapatan nelayan kecil jauh merosot. Keterangan Arman, dalam seminggu paling banyak memperoleh ikan, udang atau kepiting hanya 3 kilogram. Jika dijual income yang didapat berkisar Rp900.000 per bulan.  

Arman  melanjutkan,  income yang dihasilkan tersebut tidak sebanding dengan pengeluaran setiap bulan. Apalagi semenjak ada Intake Sepaku, Arman bersama masyarakat yang lain harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli air bersih, karena air sungai sudah tidak bisa digunakan lagi untuk mencuci pakaian atau mandi. 

Perusahaan disebutkan hanya memberikan air gratis kepada warga yang terdampak langsung proyek.

Sedangkan masyarakat seperti dirinya, dianggap tidak terdampak langsung sehingga tidak mendapatkan kompensasi apapun. Arman harus merogoh koceknya sendiri untuk membeli air seharga Rp70.000 per tandon (1.200 liter) untuk pemakaian selama empat hari. 

Sehingga, dalam sebulan Arman bisa menghabiskan Rp525.000 hanya membeli air yang akan digunakan untuk mencuci baju. Sedangkan, untuk kebutuhan air minum satu jerigen setiap harinya seharga Rp7.000, atau sekitar Rp210 ribu untuk 30 hari.  

Bila beralih profesi bekerja di perusahaan, Arman mengatakan upah yang diterima tidak lebih bagus bila dibandingkan dari pendapatannya sebagai nelayan ketika kondisi sungai Supaku masih bagus. 

Upah harian yang diterima Arman sebagai buruh harian lepas di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang Hutan Tanaman Industri (HTI) Rp135.000 dan dipotong biaya transportasi menuju perusahaan sebesar Rp5.000 per orang. Arman juga harus bekerja selama 8 jam, dari pukul 08.00 sampai 16.00 WITA.

“Ya masuk kerja dari Senin sampai Minggu dan digaji dua minggu sekali. Kalau libur sebulan empat kali aja, lebih dari itu langsung kena pengurangan (diberhentikan),” terangnya.

Jika dikalkulasi menjadi buruh harian dengan 26 hari kerja, Arman bisa mengumpulkan Rp3,38 juta. Nominal tersebut masih berada di bawah Upah Minimum Regional (UMR) yang berlaku di Kabupaten Penajam Paser Utara tahun 2023, yaitu Rp3,5 juta. Belum lagi, harga kebutuhan bahan pokok yang terus meningkat.

“Sementara bahan-bahan pokok semakin naik. Bahkan air buat mandi, dan air minum itu kami harus beli, itulah sebabnya kami harus bekerja ganda,” katanya.

Arman dan keluarganya sulit untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka jika hanya mengandalkan gaji sebagai buruh harian lepas. 

Tangkapan Berkurang, Pendapatan Merosot

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) 2022, standar hidup layak Kabupaten Penajam Paser Utara mencapai Rp11,89 juta per kapita penduduk per tahun. Artinya, penduduk di Kabupaten Penajam Paser Utara membutuhkan pengeluaran minimal Rp11,89 juta per kapita penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. 

Dimana kebutuhan dasar yang dimaksud adalah jumlah minimum pengeluaran yang dibutuhkan oleh setiap individu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti makanan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. 

Melihat dari kondisi keluarga Arman bila mengacu pada standar hidup layak yang direpresentasikan melalui indikator pengeluaran per kapita per tahun untuk Kabupaten Penajam Paser Utara, menunjukkan kondisi Arman berada di bawah standar tersebut. 

Pasalnya, Arman dengan rata-rata pendapatan Rp3,38 juta per bulan maka pendapatan tahunannya mencapai Rp40,56 juta. Keluarga Arman terdiri dari tujuh orang, yaitu istri, dua anak dan tiga saudara. Maka pengeluaran per kapita keluarga Arman adalah Rp5,79 juta. 

Angka ini masih jauh dari standar hidup layak kabupaten Penajam Paser Utara yaitu senilai Rp11,89 juta per kapita per tahun. 

Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, pendapatan yang merosot diperparah dengan keadaan dimana untuk menikmati udang dan ikan, saat ini keluarga Arman harus membeli di pasar. 

“Upah yang diterima menjadi buruh tidak menguntungkan. Sebelumnya saat menjadi nelayan tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli ikan dan udang, tetapi sekarang harus membeli, sehingga sulit untuk menabung uang untuk kebutuhan lain,” katanya.

Alhasil jika ingin mencari ikan dan udang, Arman harus mencari rute baru, yakni berpindah hingga ke muara Sungai Sepaku. 

1698640049_3bb30d96-4056-4ed2-9738-ec6f78ba4407.
1698640049_3bb30d96-4056-4ed2-9738-ec6f78ba4407.
Arman memancing ditemani anaknya di Sungai Sepaku./Istimewa

Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Penajam Paser Utara mencatat terjadi penurunan produksi perikanan perairan umum dalam lima tahun terakhir. Tahun 2022 produksi perikanan jenis perairan umum mencapai 157 ton. Jumlah tersebut turun 1,86% dibandingkan 2021 yang mencapai 159,97 ton. 

Sementara jika dibandingkan dengan tahun 2017 yang mencapai 204,62 ton, terjadi penurunan sebesar 23,27 persen.

“Memang terjadi penurunan, walaupun tidak bisa dilihat secara rinci, karena kegiatan penangkapan di perairan umum tahun 2018 hingga 2019 masih minim, dan sulit dijadikan patokan untuk mengetahui tren tangkapan karena terjadi kesalahan data saat alih pengolahan data dari Kementerian KKP,” kata Musakkar Mulyadi, Kabid Perikanan Budidaya dan Lingkungan DKP Kabupaten Penajam Paser Utara. 

Kemiskinan Masyarakat Sepaku di Tengah Gemerlap Proyek IKN

Nelayan perairan umum di Kabupaten Penajam Paser Utara mengalami penurunan dalam kurun waktu 2018-2022./Sumber DKP

Tak hanya produksi tangkapan yang turun, DKP juga mencatat terjadi penurunan jumlah nelayan perairan umum kurun waktu 5 tahun terakhir. Pada tahun 2018, total nelayan mencapai 538 orang, dimana jumlah nelayan perairan umum utama 177 orang dan nelayan perairan umum tambahan 361 orang. Sementara pada 2022, total nelayan mencapai 261 orang, dimana jumlah nelayan perairan umum utama 100 orang dan nelayan perairan umum tambahan 161 orang.

Tak bisa dipungkiri, masyarakat memilih beralih profesi atau mencari pekerjaan sampingan untuk bertahan di tengah himpitan ekonomi gemerlap pembangunan proyek Ibu Kota Negara (IKN).

Proyek IKN Memanfaatkan Sungai Sepaku

Kecamatan Sepaku merupakan satu dari empat kecamatan yang ada di Kabupaten Penajam Paser Utara dengan luas 1.172 km persegi atau 117.200 hektare. 

Menurut data BPS setempat jumlah populasi Kecamatan Sepaku sebanyak 38.320 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk paling rendah se kabupaten, yaitu hanya 32,69 jiwa/km persegi. Terbanyak di Desa Sukaraja dengan jumlah populasi di desa tersebut mencapai 4.123 jiwa pada tahun 2022. 

Seperti umumnya masyarakat Kalimantan yang menggantungkan hidup dari sungai sebagai nelayan, kehidupan masyarakat setempat tidak lepas dari sungai. Bertahun-tahun, hidup berdampingan dengan alam, dan mendirikan permukiman di pinggir sungai Sepaku.   

Selain sebagai tempat mencari sumber penghidupan, daerah sekitar sungai Sepaku juga dimanfaatkan untuk menanam tanaman khas Kalimantan, seperti bengkirai atau nipah, yaitu daun yang biasanya digunakan sebagai bahan atap rumah. 

Saat ini Kecamatan Sepaku masuk sebagai Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Hal ini membuat Sepaku menjadi kecamatan yang paling sibuk mengingat sejumlah pembangunan proyek ibu kota negara baru ini berada di lokasi tersebut. 

Salah satunya pembangunan sarana pengambil air yang dikenal dengan nama intake Sepaku dan jaringan pipa transmisi sungai di perbatasan antara Desa Sukaraja dan Bukit Raya. Proyek tersebut dibangun Kementerian PUPR untuk mendukung pasokan air bersih di IKN. 

Proyek intake Sepaku menempati lahan seluas 14,8 hektare dengan total anggaran Rp344 miliar yang bersumber dari dana APBN. Intake tersebut selesai dibangun April 2023. Intake Sepaku memiliki lebar bendung 117,2 meter dengan tinggi bendung 2,3 meter dan menjadi bagian dari pembangunan infrastruktur dasar di IKN. 

Bangunan ini didesain dengan konsep bendung gerak yang dapat mengatur ketinggian muka air sungai dan memiliki kapasitas debit 3.000 liter per detik. Dengan metode ini, intake tidak membutuhkan pompa untuk mengalirkan air dari sungai ke instalasi pengolahan seperti intake sungai lainnya.  Dasar sungai ditinggikan dengan bendung gerak yang bisa dibuka-tutup sesuai kebutuhan, sehingga air bisa mengalir tanpa perlu energi listrik.

Sebelum masuk ke instalasi pengolahan, air dari sungai akan dibersihkan terlebih dahulu dari lumpur dan kotoran lainnya di rumah pompa. Setelah itu, air akan dialirkan melalui jaringan pipa menuju IKN

Pembangunan Harus Pro Rakyat 

Direktur WALHI Kaltim, Fathur Roziqin Fen, mengatakan bahwa konflik tenurial dalam berbagai bentuk perselisihan atau pertentangan klaim penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan penggunaan kawasan merupakan akar dari masalah-masalah sosial dan ekologis yang terjadi di Kecamatan Sepaku.  

“(Proyek Intake) Ini adalah masalah lama, dan merupakan kelanjutan dari sengketa sebelumnya atau bisa dibilang berlapis. Ini juga mencerminkan bahwa setelah negara memberikan konsesi kepada perusahaan ITCI Hutani Manunggal, sekarang negara sendiri mengambil alih melalui IKN,” katanya.

Fathur menilai, proyek intake tidak melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya. 

“Selama proses perencanaan proyek IKN, terutama proyek intake, pemerintah tidak memberikan informasi yang komprehensif dan proses partisipatif kepada masyarakat. Hal ini mengakibatkan berbagai masalah, dan kami menyimpulkan bahwa tidak cukup perhatian diberikan pada dampak ekologis dan konflik sosial yang mungkin terjadi,” katanya.

Fathur berharap bahwa pemerintah dapat segera menyelesaikan konflik tenurial dan memberikan solusi yang berkelanjutan bagi masyarakat dan lingkungan di Kecamatan Sepaku. 

“Masyarakat di sana sebagian besar hanya ingin memastikan kelangsungan hidup mereka. Selain tanah, yang mereka butuhkan adalah jaminan akan kelangsungan hidup generasi berikutnya,” tegasnya.

Senada, Pengamat ekonomi Universitas Mulawarman Purwadi menyatakan sebuah pembangunan harus mempertimbangkan valuasi ekonomi terhadap lingkungan, kesehatan, dan pendidikan. Semua perhitungan tersebut harus dilakukan secara transparan dan melibatkan semua pihak agar tidak ada yang dirugikan.

“Pembangunan tidak boleh hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi investor, tetapi juga harus memperhatikan dampak sosial dan lingkungan. Pemerintah harus menetapkan cadangan dana untuk mengatasi kerusakan lingkungan, kesehatan, dan pendidikan masyarakat yang terdampak,” ujarnya.

Purwadi juga menekankan pentingnya good governance dalam pembangunan. Dimana pemerintah harus bertanggung jawab dan akuntabel dalam menjalankan proyek-proyek pembangunan. 

Ia mencontohkan kasus lumpur Lapindo yang menunjukkan betapa jauhnya dampak ekologi yang bisa ditimbulkan oleh pembangunan. “Kita harus belajar dari pengalaman buruk itu. Kita tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama,” katanya. 

Deputi Bidang Sosial, Budaya, dan Pemberdayaan Masyarakat, Alimuddin membantah jika kehadiran proyek IKN di Kecamatan Sepaku menjadi penyebab menurunnya pendapatan nelayan di Sepaku. Sebaliknya Alimuddin mengatakan kehadiran proyek IKN di Kecamatan Sepaku untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 

“Jika masyarakat memiliki keahlian nelayan, kami akan mendukung mereka dengan peningkatan keterampilan,” katanya.

Sungai Sepaku lanjutnya, saat ini sudah tidak cukup untuk menjamin kehidupan nelayan. “Kami berusaha agar anak-anak nelayan tidak hanya mengikuti jejak orang tua mereka, tetapi juga mengalami peningkatan kemampuan,” ungkapnya.

Masyarakat, kata Alimudin, gagal beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang ada, akibat dari kurangnya pelatihan atau peningkatan skill. Padahal saat ini Otorita IKN tengah menciptakan transformasi peradaban baru. 

Upaya ini didukung dengan menyediakan enam tempat pelatihan, seperti pembuatan kue, menjahit dan berbagai jenis pelatihan lain. Menurutnya, terdapat 53 jenis pelatihan yang telah dibuat dengan tujuan meningkatkan kemampuan masyarakat dan menghindari kesenjangan sosial.

“Pembangunan IKN akan terus berlanjut hingga tahun 2045. Setelah pemindahan selesai, kami memastikan bahwa upaya pelatihan berlanjut,” pungkasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper